Senin, 08 Juni 2009

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

PERUBAHAN ARAH KIBLAT BERDASARKAN

SURAT AL-BAQARAH AYAT 142-144

“MAU MENARIK SIMPATI, MALAH DICACI MAKI”

Selama berada di Mekkah, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin melakukan shalat dengan menghadap ke arah Ka’bah di Masjidil Haram. Namun, ketika beliau berhijrah dan tiba di Madinah beliau bersama umat Islam sholat menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina yang juga merupakan arah kiblat orang-orang Yahudi. Umat Islam melaksanakan sholat dengan menghadap ke Baitul Maqdis ini selama kurang lebih enam belas bulan. Pengalihan arah kiblat tersebut untuk menarik hati orang-orang Yahudi kiranya dengan arah kiblat yang sama mereka diharapkan mau mengikuti Islam, karena kiblat merekapun mengarah ke sana. Namun, rupanya mereka bukannya mengikuti Islam malah mengejek Nabi dan umat Islam karena dianggap mengikuti kiblat mereka. Dalam hal ini terjadi selisih pendapat yang datang dari ahl ‘ilm, sebab muasal mengapa baet al-Muqaddas dijadikan kiblat & apakah ini perintah allah & apa tujuannya ?

Menjawab hal ini semua seorang mufassir dalam kitabnya annuktu wal ‘uyun tasir mawardi menjelaskan, menurut Rabi’, Abi Aliyah & Hasan bahwa nabi menghadap baet al-Muqaddas berdasarkan pendapat & ijtihad nabi sendiri dengan tujuan menurut Abi Ja’far Atthabari agar mempersatukan ahl kitab & mempersahabat mereka dengan mengubah atau mempersamakan arah kiblat. Akan tetapi konsequensi yang ada sangat jauh dari harapan. Assyaikh Muhammad ‘Ali Ashobuni dalam kitabnya Shafwatut Tafaasir menambahkan bahwa orang-orang yang menentang perubahan arah kiblat malah berkomentar lain yang tak lain mengejek perbuatan nabi yang mengikuti kiblat mereka & megklaim pasti adanya kekeliruan nabi dalam hal penerimaan wahyu, sehingga mereka merasa ragu.

Allah SWT berfirman:

Artinya: (As-syufaha’ (orang-orang yang lemah akalnya) di antara manusia akan berkata: “Apa yang memalingkan mereka dari arah kiblat mereka (Bait –al maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?. Jawablah : “Milik Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya kejalan yang lurus.)

As-syufaha’ adalah orang-orang yang lemah akalnya, atau yang melakukan aktifitas tanpa dasar, baik karena tidak tahu, atau enggan tahu, atau tahu tapi melakukan yang sebaliknya. & dalam kitab baet al-Muqaddas kata yufaha disini di tujukan pada tiga kaum : kaum yahudi, kafir quraisy & orang-orang yang menolak perubahan kiblat. Ayat ini berkaitan dengan sikap orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin yang mencemooh umat Islam. Mereka mempertanyakan, “Apa yang membuat mereka (umat Islam) berpaling atau pindah dari kiblat mereka yang dahulu?. Kenapa tadinya mereka mengarah ke Mekkah kemudian pindah ke Baitul Maqdis, atau tadinya ke Baitul Maqdis sekarang ke Ka’bah lagi. Kalau mengarah ke Baitul Maqdis atas perintah Allah, mengapa mereka mengarah ke Ka’bah, tentu ada kekeliruan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin.

Allah tidak menjelaskan mengapa Dia mengalihkan arah kiblat yang akhirnya mengarah ke Ka’bah. Ketika Nabi hijrah, Ka’bah masih dipenuhi berhala, dan kaum musyrikin Arab mengagungkan Ka’bah bersama-sama berhala yang mereka tempatkan di sana. Namun, tidak disebutkannya sebab pengalihan itu memberi isyarat, bahwa perintah Allah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah mahdloh (murni) tidak harus dikaitkan dengan pengetahuan manusia tentang sebab musababnya. Ia harus diamalkan, walaupun memang pasti ada sebab atau hikmah di balik itu. Setiap muslim diperintahkan untuk melaksanakannya, namun tidak dilarang untuk bertanya atau berpikir guna menemui jawabannya.

وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin jika nanti ada omongan atau pertanyaan orang-orang Yahudi tentang kenapa umat Islam mengalihkan kiblat. Allah memerintahkan agar Nabi mengatakan bahwa milik Allah arah barat dan timur, jadi kemanapun arah kiblat ya terserah Allah. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Yang nukil dari tafsir ibnu katsir tentang Ayat ini, dan Allah lebih mengetahui, mengandung hiburan bagi Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang diusir dari Mekah dan dipisahkan dari masjid dan tempat shalat mereka. Ketika Rasulullah saw. di Mekah, beliau shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, padahal Ka'bah berada di depannya. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau shalat masih menghadap ke Baitul Maqdis selama 17 bulan. Setelah itu, Allah menyuruhnya menghadap ke Ka'bah. Oleh karena itu, Allah berfirman,

"Kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah."

Abu Ubaid al-Qasim bin Salam mengata-kan dalam bukunya an-Nasikh wal-Mansukh: Al-Hajjaj bin Muhammad menginformasikan kepada kami. Kemudian dia meruntunkan sanadnya hingga sampai kepada Ibnu Abbas, dia berkata, "Ayat Al-Qur'an yang telah diceritakan kepada kami dan yang pertama kali dinasakh ialah mengenai masalah kiblat. "Allah Ta'ala berfirman: "Kepunyaan Allahlah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah." Maka Rasulullah saw. mencari arah untuk menghadap, lalu beliau shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan meninggal-kan Rumah yang kuno. Kemudian Allah menyuruhnya kembali menghadap ke Rumah yang kuno, dan Dia menasakhnya dengan, "Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya." (Al Baqarah ayat 149) dan ini membungkam hujjah mereka yang berpendapat bahwa perubahan ini bersifat sementara dan berhujjah mengahadap ka’bah hanya pada waktu itu saja.

Menurut Mujahid, firman Allah, "Ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah" berarti di mana pun kamu berada, kamu memiliki kiblat berupa Ka'bah yang harus dihadapi. Ulama yang lain mengatakan bahwa ayat itu ditururikan sebagai pemberian izin dari Allah untuk menghadap ke barat atau timur, selaras dengan perjalanannya, dalam melakukan shalat sunnah dan khauf. Abu Karib meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa dia shalat ke arah mana saja binatang kendaraannya itu menghadap. Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah saw. pun melakukan hal seperti itu dan dia menafsirkan ayat, "Ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah." Keterangan ini diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawih dari berbagai jalan dari Abdul Mulk bin Abi Sulaiman. Dalam shahihain keterangan itu berasal dari hadits Ibnu Umar dan Amir bin Rabi'ah, tanpa menuturkan ayat di atas.

Ibnu Abi Jarir meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Mujahid, dia berkata bahwa setelah ayat "berdoalah kepada-Ku, niscaya Kupenuhi untuk-rau", maka orang-orang bertanya, "Ke arah mana?" Kemudian diturunkanlah ayat, "Ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah."

"Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui."

Ibnu Jarir berkata, "Makna 'sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui' ialah Dia meliputi seluruh makhluk-Nya dengan kecukupan, kedermawanan, dan karunia. Kata 'Maha Mengetahui' berarti Dia mengetahui berbagai perbuatan makhluk dan semua yang akan terjadi atau belum terjadi. Tidak ada satu perbuatan pun yang samar bagi-Nya dan tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya. Dia Mengetahui keseluruhan perkara."

Jawaban ini sekaligus menyiapkan mental kaum muslimin ketika menghadapi aneka ragam gangguan serta gejolak pikiran menyangkut peralihan kiblat. Dengan demikian, diharapkan jiwa mereka lebih tenang menghadapi hal-hal tersebut.

(Dan demikian Kami telah menjadikan kamu ummatan wasathon agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rosul (Muhammad SAW) manjadi saksi atas perbuatan kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (dalam dunia yang nyata) siapa yang mengikuti Rosul dan siap yang membelot. Dan sungguh perpindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali kepada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan Allah tidak akan menyia-nyikan iman kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Penyayang.)

Ketika manusia dalam posisi di tengah dalam arti tidak memihak ke kanan dan ke kiri maka ia akan dituntut bersikap adil. Posisi di tengah menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dari berbagai penjuru. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain. Tetapi, ini tidak dilakukan kecuali jika mereka menjadikan Rosul SAW sebagai saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan mereka.

Pergantian arah kiblat, boleh jadi membingungkan sebagian umat Islam dan menimbulkan aneka pertanyaan dari Yahudi atau kaum muysrikin Mekkah dalam menggelincirkan mereka. Karena itu, disebutkan dalam ayat tersebut, “..dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu sekarang melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rosul dan siapa yang membelot. Allah sebenarnya telah mengetahui siapa yang akan terus mengikuti Rosul dan siapa yang membelot. Tetapi Dia ingin menguji manusia sehingga pengetahuan-Nya terbukti dan nyata. Di samping itu, bukan hanya Dia yang mengetahui siapa yang tetap beriman, tetapi orang yang diuji dan orang lainpun juga mengetahui. Oleh sebab itu kejadian ini bisa dipendapati bahwa ini merupakan kejadian filterasi kaum muslim sendiri & kaum munafiq. Dan ini mendasari ayat yang menyatakan “kuntum khoiru ummatin” karena ada juga yang berpendapat bahwa kata “wasath” disini berarti khiyar (pilihan).

Allh Swt. berfirman: Wakadzâlika ja‘alnâkum ummat[an] wasath[an] (Demikian pula Kami telah menjadikan kalian sebagai umat yang adil dan pilihan). Huruf al-kâf berfungsi li tasybîh (untuk menyatakan keserupaan). Ketika diletakkan pada ism al-isyârah (dzâlika), keserupaan itu merujuk pada ayat sebelumnya. Dengan demikian, kata tersebut memberikan makna: Sebagaimana Kami telah memberikan nikmat kepada kalian berupa hidayah atau Kami telah menunjukkan kalian pada awsath al-qiblah (kiblat terbaik), Kami juga menjadikan kalian sebagai ummah wasath.[2]

Dalam bahasa Arab, kata wasath bermakna khiyâr (terbaik dan pilihan).[3] Menurut sebagian mufassir kata wasath dalam ayat ini pun bermakna khiyâr.[4] Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah yang diberikan kepada mereka, Islam. Ibnu Katsir menyatakan, ketika umat ini dijadikan sebagai ummah wasath, Allah mengkhususkan mereka dengan syariah paling sempurna, manhaj paling lurus, dan madzhab paling jelas.[5] Oleh karena itu, status mulia itu dapat disandang apabila mereka menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Makna ini juga sejalan dengan firman Allah Swt.:

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3]: 110).


Menurut Abu Said al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan al-Rabi, kata wasath dalam ayat ini berarti al-‘âdil.[6] Al-Qurthubi, Abu Hayyan, Ibnu ‘Athiyah, dan beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian.[7] Penafsiran tersebut merujuk pada penjelasan Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Said dan Abu Hurairah ra., bahwa ummat[an] wasath[an] adalah ‘adl[an].[8] Tidak sedikit pula mufassir yang menghimpun dua makna itu, tanpa menolak salah satunya. Karena itu, kata wasath[an] dimaknai khiyâr[an] udûl[an] (pilihan dan adil).[9]

Selanjutnya Allah Swt. menerangkan kembali tentang pensyariatan kiblat yang telah disebut dalam ayat sebelumnya. Allah Swt berfirman: Wamâ ja‘alnâ al-qiblah al-latî kunta ‘alayhâ illâ lina’lama man yattabi’u al-Rasûl mimman yanqalibu ‘alâ ‘aqibayh (Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot).


Para ulama berbeda pendapat mengenai al-qiblah al-latî kunta ‘alayhâ. Sebagian mufassir seperti Ibnu Abbas, as-Sudi, dan Atha’ menyatakan, yang dimaksud adalah Bait al-Maqdis.[14] Az-Zamakhsyari, al-Alusi, dan an-Nasafi memaknainya Ka‘bah.[15] Alasannya, karena Rasulullah saw. pertama kali shalat menghadap Ka‘bah, kemudian diperintahkan menghadap Bait al-Maqdis, setelah diperintahkan kembali menghadap Ka‘bah. Alasan lainnya, kata kunta bermakna al-hâl (sekarang).[16]Adapun kata yanqalibu ‘alâ ‘aqibayh berarti kembali pada kekufuran, murtad.[17]


Ungkapan lina‘lama tidak boleh dipahami bahwa Allah Swt. hanya mengetahui perkara yang sudah terjadi. Sebab, Allah Swt. Maha Mengetahui semua perkara, baik sebelum, sedang, maupun sesudah terjadi.
Oleh karena itu, pengetahuan di sini berkait erat dengan pahala dan dosa;[18] bahwa manusia bisa mendapatkan pahala dan dosa setelah terbukti dalam kenyataan. Untuk itu, manusia harus diuji ketaatannya.

Dengan demikian, frasa ini dapat dipahami bahwa disyariatkannya kiblat, baik yang dulu maupun yang sekarang, adalah untuk menguji manusia agar bisa dibedakan dan dilihat dengan jelas, siapa yang tetap yakin dan konsisten mengikuti segala perintah Rasulullah saw.; siapa yang membangkang, berpaling, dan murtad dari agamanya.


Allah Swt. pun mengingatkan: Wa’in kânat lakabîrat[an] illâ ‘alâ al-ladzîna hadâllâh (Sesungguhnya hal itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah Allahi tunjuki). Kata kabîrah bermakna tsaqîlah syâqqah (sangat berat).[19] Kata tersebut merupakan khabar dari ism mahdzûf (subyek yang dihilangkan). Diperkirakan, kata yang hilang itu adalah tahwîlat al-qiblah (pengalihan kiblat).
Dengan demikian, maknanya adalah: pengalihan itu benar-benar terasa amat berat bagi orang-orang yang ingkar. Sikap mereka berbeda dengan orang-orang yang menerima petunjuk dan mau mengikutinya. Bagi mereka, semua yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan adalah haq dan wajib diikuti. Karena itu, tidak ada keberatan bagi mereka untuk menaatinya.


Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wamâ kânallâh liyudhî’a îmânakum (Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian). Huruf al-lâm berfungsi li ta’kîd al-nafiyy (untuk memperkuat penafian). Frasa ini memberikan pengertian, Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala keteguhan kalian dalam keimanan.[20] Menurut Ibnu ‘Abbas, al-Barra’ bin ‘Azib, Qatadah, as-Sudi, dan para mufassir lain, yang dimaksud dengan kata iman di sini adalah shalat.[21] Kesimpulan tersebut didasarkan pada sabab nuzûl ayat ini, bahwa yang mereka kerjakan sebelum adanya perubahan kiblat tidaklah sia-sia.


Allah Swt. mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya: Innallâh bi an-nâs la Ra’ûf[un] Rahîm (Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia). Kedua kata itu memiliki makna yang sejalan. Kata ar-ra’ûf berasal dari kata ar-ra’fah. Kata ini bermakna asyaddu min al-rahmah (lebih dari rasa kasih).[22] Kata ar-rahîm berasal dari kata ar-rahmah. Frasa ini menjadi catatan akhir, bahwa semua syariah yang ditetapkan Allah merupakan wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Sudah sepatutnya, manusia pun merespon setiap ketetapan yang berasal dari-Nya, baik tampak menyenangkan atau sebaliknya.

(Sungguh kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram adalah benar dari Tuhannya. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan).

Ayat ini menurut Assyaikh Muhammad ‘Ali Ashobuni dalam kitabnya Shafwatut Tafaasir merupakan merupakan ayat muqaddimah untuk ayat 142. Kata Qod dalam ayat ini diterjemahkan ”sungguh”. Ada juga yang memahaminya dalam arti sedikit, sehingga ayat di atas diartikan “Kami sekali melihat wajahmu dst”. Betapapun artinya, yang jelas melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa Dia mengetahui keinginan isi hati atau do’a. Ayat di atas kemudian menambahkan uraianya dengan menyatakan “ maka guna memenuhi keinginanmu serta mengabulkan doamu “Sungguh Kami akan memalingkan mu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.

Sementara ulama sufi menggaris bawahi bahwa ayat ini memerintahkan mengalihkan wajah, bukan hati dan fikiran. Karena hati dan pikiran hendaklah selalu mengarah kepada Allah SWT. Hati dan isinya adalah suatu yang ghaib, maka sesuai dengan sifatnya ia harus mengarah pada yang Maha Ghaib. Sedangkan wajah adalah sesuatu yang nyata, maka ia pun harus diarahkan pada sesuatu yang nyata, yaitu bangunan bentuk kubus yang berada di Masjidil Haram. Karena disana ada kata syatrun yang berarti nisfun atau sebagian.

Setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad SAW telah dikabulkan, maka perintah kali ini tidak hanya ditujukan pada beliau sendiri tetapi juga ditujukan kepada semua manusia tanpa terkecuali.

Ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW sedang sholat Dhuhur bersama para sahabat di suatu rumah di Madinah yang dikenal dengan masjid Bani Salamah. Pada saat itu Nabi masih sholat menghadap Baitul Maqdis maka beliaupun mengarahkan kiblatnya ke Ka’bah. Oleh karena itu, selanjutnya masjid tempat wahyu ini turun disebut masjid Dzul Qiblatain (Yang memiliki dua kiblat).

Dan DR. Quraisy shihab menambahkan dalam Tafsir Misbah bagaimana dengan as-sufaha yang disinggung sebelum ini ? lanjutan ayat menjelaskan bahwa: sesungguhnya orang-orang yang diberi al-kitab yakni Taurat dan injil mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga Tuhan kaum muslimin. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat Baitul Maqdis dan ka’bah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu.

CATATAN KAKI:


[1] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191-192. Al-Qurthubi dan az-Zuhaili menyatakan, para ulama sepakat, ayat ini turun kepada orang yang mati ketika mereka masih shalat menghadap Baitul Maqdis. sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari dari al-Barra’ bin ‘Azib. Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 11.

[2] Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâ’ib al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 420. Dengan sedikit perbedaan redaksional, kesimpulan yang sama juga dikemukakan al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 91.

[3] Ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 8.


[4] Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87.


[5] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 237.


[6] Ath-Thabari, Jâmi‘ al- Bayân, vol. 2, 8.


[7] Al-Qurthubi, Op. cit., 104; Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 595; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 219; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 164.


[8] As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 265; ath-Thabari, Op. cit., vol. 2, 9.
At-Tirmidzi menyatakan, hadis dari Abu Said itu hasan sahih. Lihat: al-Qurthubi, Ibid., 104.


[9] Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 1 (Qathar: Idârat Ihyâi al-Turats, 1989), 300; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 225; asy-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 45; asy-Syaukani, Op. cit., 188; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 125; Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 300.


[10] Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 1
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 415.

[11] Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘ânî at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 87; as-Suyuthi, Op. cit., 265; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, 404; asy-Syaukani, Op. cit., 189; al-Qinuji, Op. cit., 300; asy-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân, 45.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Bashra, Abi Hasan Ali bin Muhammad bin habib mawardi. Annuktu Wal ‘Uyun Tasir Mawardi. Beirut, Lebanon: Darul Kitab Ilmiah. Tt.

Quraisy, Sihab. Tasir Al- Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2002.

Asshobuni, Muhammad ‘Ali. Shafwatut tafaasir. Beirut: Dar Ehia Al-Tourath Al-Arabi. vol. 1

Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub. 1997. vol. 1

Ath-Thabari. Jâmi‘ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992. vol. 2

an-Naisaburi, Nizhamuddin. Tafsîr Gharâ’ib al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1996. vol. 1

0 komentar: